Mengenang Raung! (Part 1)


Dari kiri : Wens, Dina, Aku, Hamid, Nasrul, Mas Al

Aku sedang berada di rumah saat ini, nggak lagi galau, nggak lagi sendu. Kerjaku dari kemarin cuma bantuin ibuku dinas di dapur, yah sambil belajar jadi seorang calon istri kalo kata orang. (mumpung lagi liburan)
Kemarin dan kemarinnya lagi banyak banget berita yang bersliweran di medsos saya (baca : Ig, Whatsapp, dll) mengenai pendakian, khususnya pendakian Gunung Raung. Dari berita berita yang beredar tersebut, tangan saya jadi ingin menggelitik keyboard dan menceritakan pengalaman saya dan tentu bersama teman daki saya waktu ke Gunung Raung. Pengalaman yah, yang biasa saja lah sama seperti kawan-kawan pendaki lainnya kalau lagi naik gunung. Mungkin nggak ada cerita horornya sama sekali, apalagi cerita kehilangan seorang teman pendakian, nggak ada kok. Cuma pengen share pangalaman aja hehehe.

1 September 2017
Pagi itu takbir menggema nggak ada hentinya, emang bener soalnya Jum'at itu adalah Hari Raya Idul Adha bagi umat muslim. Dimana semua orang akan meyembelih domba/sapi. Sehabis menjalani sholat Idul Adha, saya dengan temen jalan saya si Hamid, langsung tancap gas menuju Probolinggo. Semalam sebelumnya, kami berdua sudah packing asik dengan hati riang gembira untuk menyambut hari ini. Kebrangkatan saya dan Hamid dari Malang kali ini mengundang Wens (teman kuliah dari Papua) untuk ikut serta mendaki Gunung Raung. Kami bertiga berangkat pukul 08.00 dari Malang naik sepeda motor.
Sesampenya di Probolinggo, kami menuju Rumahnya mas Al (kurasa pernah menceritakannya di cerita "Panderman") dan menunggu yang lain disana.
Selesai sholat jum'at semua anggota lain udah kumpul. Pendakian kali ini beranggota 5 orang dengan 1 leader (padahal gatau mulai berangkat ampe balik siapa leadernya hahaha). Saya, Hamid, Wens, Mas Al, Nasrul, dan Dina. Dina dan saya adalah dua orang perempuan yang rela mengadu nasib di gunung saat itu hahaha Alhamdulillah aja ada dia yang menggantikan temen jalan cewek saya (baca:Desi). Hari ini temen daki cewek saya jadi bertambah satu, yah si Dina.
Waktu udah nunjukin jam 1 siang, dan tanpa menunggu apa-apa lagi kita semua segera berangkat dan mengawali perjalanan dari Probolinggo ke Bondowoso ini dengan lebih dulu memamitkan Dina ke ke ibunya. Perjalanan panjang dengan kerir di punggung dan bokong yang terus merasakan panas tak henti-henti rasanya.
Baru sehabis magrib kita sampai di Basecamp Gunung Raung Via Sumber Wringin yang berada di Bondowoso. Pemilihan jalur sumber wringin bukan tanpa alasan. Kami memilih jalur ini karna dirasa yang lebih mudah, lebih murah, dan tentu saja karna kami semua belum pernah ke Gunung Raung. (kalo kata orang "keep savety"). Awalnya saya yang sampe di Basecamp sumber wringin gak percaya kita bisa mendaki Gunung Raung lewat jalur ini. Bayangan puncak-puncak Gunung Raung seperti puncak tusuk gigi mulai membuat kaku dengkul-dengkul saya, "Bisa gak yah" pikir saya.
Karna dateng kemaleman, saya dan temen-temen jadi ditawari 2 macam pilihan oleh mas? (siapa yah lupa haha) pokoknya mas mas yang jaga disitu.
Pilihan 1 : Mau ngojek ke tempat parkir atau ngojek sampe pondok motor dengan bayar Rp.50.000 per orang dan berangkat nanjak malem itu langsung.
Pilihan 2 : Nginap di Basecamp yang gak bayar (bayar Rp.10.000 untuk daftar masuk pendakian) dan melanjutkan perjalanan besok pagi.
Setelah berdebat panjang lebar dan menimbang jumlah uang yang kita punya, jadi pilihan nomor 2 adalah pilihan paling bijak yang musti dipilih. Toh ngapain juga nanjak malem itu dengan kondisi udah capek, nggak dapet niqmatnya jalan kaki hehe.
Setelah memilih pilihan kedua kita siap-siap dan bergegas tidur.

Pic : Perkampungan dengan penduduk yang baiknya kaya malaikat hihi

Paginya setelah makan kenyang kita berpamitan dan berterimakasih sama mas dan ibu di Basecamp sumber wringin. Kami melanjutkan perjalanan ke tempat parkir yang nyatanya adalah rumah penduduk setempat. Jalan menuju desa ini makadam dan kami melewatinya tentu saja dengan meraung-raung.
Setelah parkir kita siap-siap nanjak dan ambil air 1 dirigen (itupun dirigen dari warga, warganya baik- baikkk banget, beneran deh). Kalo orang lain ngojek sampe pondok motor kita dengan gigih ingin jalan kaki tentu saja karna hemat wkwk. Kami rasanya semangat sekali kala itu melewati kebun kopi yang tak kunjung habis.
Dengan jalan yang udah capek banget akhirnya kita baru nyampe pos 1 pondok motor. Waktu itu rasanya matahari udah nunjukin pukul 12 siang. Setelah cukup mengumpulkan energi kitapun melanjutkan perjalanan ke pos 2 pondok sumur. Sepanjang jalan kenangan isinya hutan rimbun yang hawanya jarang di jarah manusia, padang ilalang yang lebarnya sepetak dan tanjakan yang panjangnya tak terhingga. (namanya juga naik gunung, yakan!)
Sampe di pos 2 kami memtuskan istirahat guna mengumpulkan energi, lagi? yah you know lah haha akibat gak ngojek tadi dengkul kita berasa pada kaget. Sekedar informasi sih sepanjang jalur via sumber wringin ini resiko paling beratnya adalah gak ada sumber air sama sekali, padahal waktu tempuh dari bawah ke puncak bisa 2 hari kaya kami ini. Karna dirasa pos 2 ini lebar banget jadilah kita memutuskan gak hanya mengumpulkan energi saja disitu tapi juga ngcamp, padahal waktu masih sore, kemungkinan melanjutkan ke pos 3 masih bisa banget. Tapi kenapa buru-buru sih hehe namanya juga pada capek yaudah diniqmatin ajalah pokonya.

 3 September 2017
Setelah melewati malam yang panjang dengan cipika cipiki, makan, dan juga melihat langit yang kala itu nggak ada bintang, akhirnya kita disambut pagi dengan penuh energi. Pagi itu kami bergegas berangkat jalan lagi, mengingat kami masih berada di pos 2. Dengan semangat membara kami melewati pos 3 pondok tonyok tanpa berhenti dan berencana langsung ke pos 4 pondok demit. Sesampainya di pondok demit kami instirahat sambil ambil foto. (aku yang ngambil mereka yang foto -__-). Waktu itu kami baru sadar bahwa air yang kami punya mulai menipis. Perasaan ketar ketir mulai menghampiri ketika melihat keadaan medan yang nggak singkron dengan jumlah air yang kita miliki.

Pic : Di pos 2 nihh, habis sarapan

Setelah lumayan puas istrirahat kami memutuskan untuk jalan lagi. Track mulai naik, noleh ke kiri ke kanan pemandangannya adalah ladang terbuka dengan banyak pohon-pohon yang mengeluarkan asap (baca : terbakar panas). Saya yang kala itu berjalan di belakang bersama Wens merasa sangat butuh air, cuman pikiran untuk mengingat kondisi air yang benar-benar sudah menipis juga mulai muncul.
Setelah berjalan sekitar 1 jam lebih kami pun sampai di pos 5 pondok mayit. Lihat ke atas berharap pos-posan ini segera berakhir karna rasanya udah ngantuk banget. Capek sekaliihh.
Sepanjang jalan mulai keberangkatan di pos 2 tadi, saya merasa semangat banget berkobar-kobar malah, eh tau tau sampe sini udah melempem aja. Mengingat waktu yang ngga banyak, kita memutuskan untuk jalan lagi.
Dipertengahan jalan menuju pos 6 pondok angin, kami berhenti istirahat dan saya menyempatkan diri untuk rabahan, gak lama setelah itu ehh malah jadinya ketiduran wkwk gpp lah ya mumpung waktu itu si Hamid sama mas Al naik duluan buat nyari tempat camp, dan mereka akan turun lagi memberi informasi ke kami.
Waktu dibangunin si Hamid jam udah nujukin pukul stengah 2 siang. Akhinya kami memutuskan jalan lagi mengejar tempat camp selanjutnya.
Dengan waktu kira-kira 45 menit sampelah kami di pos 6 pondok angin. Disinilah keagungan Gunung Raung mulai kelihatan. Pemandangan dari pos 6 ini masyaAllah dah nggak bisa dilupain. Hampir sama dengan view puncaknya Gunung Buthak di Batu. Kami semua dimanjakan dengan background awan yang berada dibawah kaki Gunung Raung, dan Gunung Raungnya bener-bener kelihatan jelas waktu itu. Pos 6 pondok angin ini adalah batas vegetasi Gunung Raung, yah samalah kaya di Kalimatinya Semeru, jadi ketika melihat sekeliling kita udah ngga menemukan pohon rimbun (di Semeru masih ada), yang ada hanyalah pohon gersang seperti habis kebakaran.
Kami mulai mendirikan tenda dan memasang Hammock untuk istirahat. Melihat waktu yang kayanya masih cukup buat nanjak (summit attack), salah seorang anggota mulai berkeinginan langsung nanjak saat itu juga aja. Namun pada akhirya karna suara "tidak" lebih banyak muncul maka hari itu kami memutuskan ngcamp lagi di pos angin yang emang anginnya kenceng banget.
Kami menghabiskan malam itu dengan makan malam sepiring omelete dan sayur manisa yang cuma di godok aja. Setelah ngobrol kesana kemari akhirnya kami memutuskan untuk tidur.

4 September 2017
Langit udah terang ketika kami mulai memutuskan summit attack pagi itu. Sekitar jam 5 pagi kami mulai nanjak. Segerrr benerrrr, ahhh lega rasanya. hehe. Alhamdulillah.
Karena ngga bawa kerir kita semua jadi cepet jalannya. Jalan ke puncak ini di dominasi track yang nanjak banget dan batuan padas serta pasir khas gunung aktif. Sampe di batu memoriam of Deden kami berhenti dan istirahat serta berdoa tentunya. Ada perasaan merinding dan sedih kok bisa ya ternyata saya sampe sini mengingat jumlah air yang di bawa ke puncak ini cuma sebotol aqua sedang untuk berenam. Melihat kebawah perasaan jauuuuhhh bener rasanya, takut, sedih, kangen rumah, sekaligus seneng selalu muncul disaat-saat seperti ini. Setelah beberapa menit istirahat kami melanjutkan jalan. Jalan mulai menyempit, kanan dan kiri jurang, bener-bener horor banget waktu itu. Kami yang ngga bawa alat pengaman apapun kali itu cuma bermodal do'a. Kalo di semeru tracknya pasir, di raung ini tracknya batu yang selebar galengan sawah, bedanya kalo di sawah kiri kanan mah becekan, yang ini kiri kanan jurang. Dengan modal do'a dan semangat yang membara dan karna masih pagi juga, akhirnya dengan waktu 90 menit berjalan semuanya dah sampe di puncak. Seketika saya merinding disko dan terharu, akhirnyaaaa! Saya otomatis nyanyi lagu Indonesia Raya sewaktu melihat bendera merah putih berkibar di puncak Gunung Raung ini.
Antara percaya ngga percaya ternyata kami udah menginjakkan kaki di puncak Gunung Raung. Selalu ada saat dimana kalo udah sampe di puncak itu maunya diem dan cuma fokus ngliatin pemandangan di puncak. Kalo udah gitu, pikiran pasti kemana-mana, mikir keAgungan Gusti Allah, mikir masa depan, mikir orang rumah, mikir nanti pulang gimana. Yah kemana-mana. Yang pasti, yang pertama kali terlintas adalah, MasyaAllah, Makasih, makasih makasih, dah itu aja hehe. Speechless.
Agenda kami di puncak adalah foto-foto bersama, nyanyi lagu Indonesia Raya, dan akhirnya setelah puas menikmati KeAgungan Allah, kita turun. Sekitar jam 9 kami mulai turun dari puncak.  Dengan bertekad do'a dan kaki yang siap melangkah, kami dengan hati-hati mulai turun.
Diperjalanan turun, cobaan makin gede. Setelah mengap-mangap ketawa kesenengan di puncak, akhirnya kita inget lagi kalo stok air udah gak ada. Jadi dari puncak sampe turun nih kita gak bawa air sama sekali. Berusaha sebisa mungkin jalan tanpa lari.

Pic : Jalan yang lebarnya segalengan sawah

Bersambung...
Ditulis April 2018 😼 dan baru bisa di posting 😢


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sayangi masa depan dengan Prive Uri-Cran

Suka Duka Dan Petualangan

JANGAN BERHENTI! REVOLUSIMU BELUM BERHENTI!