Childhood
“Tos dulu dong”
Aku masih terdiam, melihatnya, tak sadar
akan ajakannya.
“halooo, kok ngelamun sih?”
“oh, iya maaf”
Sambil membalas tos-nya aku tersenyum
lebar kepadanya.
Entah ini perasaan apa? Tapi aku senang,
sedih pun juga.
*flashback*
Malam itu dingin sekali. Rasanya enggan
buatku keluar malam-malam hanya untuk malam mingguan. Dan saat itu juga aku
memilih buat nongkrong di depan tv aja, ngakak-ngakak sendiri, dan akhirnya
tertidur pulas, ah malam minggu pun lewat.
Subuh datang dan aktivitas seperti
biasanya pun di mulai.
Aku seorang pelajar biasa sih, nggak
menonjol juga di sekolah. Aku suka jogging, aku juga suka olahraga (meskipun
buruk). Minggu pagi jogging, senin pagi jogging, selasa pagi jogging, dan
seterusnya isinya jogging. Entahlah jogging itu … ya asik!
Lain dari jogging, hal yang aku lakukan
adalah latihan silat, latihan silat dan latihan silat. Ya! 3 kali seminggu!
Inilah yang memperkenalkan aku dengan jogging dan memunculkan kata “I Love
Jogging”.
Kembali kedalam cerita.
Minggu pagi ini adalah hari yang aku
tunggu(banget). Dimana penantian selama 5 tahun akhirnya terjawab. Tahun ini
adalah tahun dimana aku akan berjuang meskipun sakit hati, bekerja keras dengan
kemampuanku sendiri untuk menghadapi yang namanya perlombaan. Ahh, sudah lama
aku menantikan hal ini. Sedari kecil yang ku perbuat hanya main dan main. Tak
ada sesuatu yang lebih berharga untuk terus di perjuangkan. Ya memang sudah di
mulai dari zaman dahulu bila aku selalu saja menjadi peserta.Tak apalah,
mungkin hal itu pula yang akan mengajarkan aku tentang sebuah proses.
Satu bulan penuh aku dan kawan-kawan
seperjuanganku telah fokus berlatih. Hari yang kita tunggu sudah di depan mata.
Ini bukan pesta, bukan pula mainan. Ini lebih dari sekedar perlombaan. Bagi orang
lain mungkin hanya sekedar berlatih, lomba dan selesai. Namun itu lain di
mataku, di sini akan ada hal yang namanya kebersamaaan, proses, perjuangan, dan
kenangan.
Kami pun berangkat menuju ke Surabaya.
Kota dimana diadakannya perlombaan tersebut. Astaga betapa berdebar hati ini,
seakan tak mau berhenti berkhayal tentang bagaimana bisa aku berada di sini,
hari itu.
Hari demi hari berlalu, dan hari ketiga
adalah hariku dan hari kawan-kawanku berlaga. Aku merasa sangat tenang sekali.
Lain dari apa yang ku rasakan sebelumnya ketika hari pertama aku memasuki
tempat ini. “SEMANGAT, KITA PASTI BISA” hanya itu yang bisa terucap setelah
do’a, latihan panjang dan penantian selama ini.
3 menit terasa begitu cepat. Sudah,
semua sudah berakhir. Satu bulan lebih berlatih, hanya untuk 3 menit di hari
ini. Kali ini, kita harus terfokus pada papan bertuliskan angka-angka yang
selalu berubah. Yah, nilai yang kami peroleh. Mata-mata kami mulai gelisah
memandang juri-juri yang tertunduk menilai kami. Entahlah dalam hatiku aku
berdo’a biar tak jadi beban. Namun mataku juga tak bisa di bohongi, masih sama
seperti yang lain, gelisah. Poin demi poin muncul bergantian. Dan poin
terakhir, poin yang kami tunggu-tunggu akhirnya muncul. Mata ini terbelalak,
hatiku mulai sesak, jantung pun ikut-ikutan
berdegup kencang. Perlahan air mata mengalir, hangat, serasa ikut
membasahi hati. Kami memperoleh nilai tertinggi dan berhasil menjadi juara 1.
Suara-suara girang mulai muncul dari arah kontingen kami, semakin menambah
deras kucuran air mata. Ah, betapa
bahagianya.
Sesi akhir perlombaan sudah selesai.
Baru saja nama kita di panggil untuk di pakaikan sekeping emas. Hanya ketawa
yang bisa aku lakukan. Seturunnya dari podium, seorang anak laki-laki
menghampiriku.
“Selamat ya, Tos dulu dong”
Aku masih terdiam, melihatnya, tak sadar
akan ajakannya. Tak kenal siapa dia, namun hanya tahu bahwa dia berasal dari
Tuban. Dia salah satu peserta juga dan tiga menit kemudian aku baru sadar dia
juga juara pertama. Ku ingat namanya Ardi. Sejuta kenangan masa kecil tiba-tiba
kembali datang ketika dalam hati menyebut nama
”Ardi”. Anak kecil yang bisanya ngusilin temen perempuannya ini. Namun
herannya juga dulu aku sempat memperebutkan dia. Dia selalu baik kepadaku, bahkan
untuk bermain game di computer saja dia sering mengajakku. Waktu itu aku
masihlah kanak-kanak, jadi wajar jika hal sesepele itu menjadi kenangan indah ,
bahkan hanya untuk seorang tetangga biasa sepertiku. Ingatan buruk ikutan
hadir, Ardi menghilang di ambil paksa ibunya. Tanpa sepatah kata tiba-tiba dia
mengilang. Satu dua hari masih ku tunggu kepulangannya. Hari ketiga ku coba
kerumahnya, namun apa? Jawabannya adalah dia tidak akan pernah kembali kesini
lagi. Ah sakit rasanya hatiku, sahabatku harus pergi. Meninggalkan kenangan
ketika kita sering hujan-hujanan berdua, ketika harus pulang sekolah jalan kaki
berdua dan yang terakhir ketika harus memperebutkan dia dengan anak perempuan
tetangga sebelah.
“halooo, kok ngelamun sih?”
“oh, iya maaf”
Sambih membalas tos-nya aku tersenyum
lebar kepadanya.
Entah ini perasaan apa? Tapi aku senang,
sedih pun juga. Ingatan tentang ardi kenapa harus ku bawa kesini dan di hari
ini.
“Kamu, masih ingat aku? Aku masih ingat
kamu”
Apa-apaan ini, pikirku. Kenapa
ngomongnya jadi ikutan mempernyata khayalanku tentang si ardi teman kecilku.
Dia mengatakan dengan santai namun juga tersenyum. Aku diam tak bisa mengatakan
apa-apa. Ada rasa sedikit nervous ketika terus menatapnya.
“hmm, mungkin seharusnya aku pergi saja”
Dia berkata lagi.
“Jj, jja, jangan” kali ini aku bisa
ngomong karena sedari tadi hanya ketidakjelasan yang muncul
Dia membalasku dengan senyuman dan
berkata “aku yang kemarin kau tolong, terimakasih dan sekali lagi selamat”
Loh, kenapa semuanya berubah. Jadi siapa
ardi ini? Bukannya dia mengingatku?. Ah bodohnya aku. Dia pastilah bukan orang
yang aku khayalkan dari awal tadi. Ternyata fikiranku terlalu fokus pada ardi
teman kecilku saja. Seingatku memang kemarin sore aku menolong seorang anak
laki-laki yang barangnya jatuh semua sewaktu belanja di swalayan, namun aku
langsung meninggalkannya karena kawanku mencariku. Kembali hatiku berbisik
“bodoh kau!”
“ oh iya sama-sama, boleh aku Tanya
sesuatu?” aku memberanikan diri melawan rasa malu demi membela khayalanku yang
masih saja tak mau kalah.
“Tanya apa?”
“Apa kau orang asli Tuban?”. Ah
terbersit rasa malu akan kebodohan yang sekali lagi ku ulangi.
“eh, Bagaimana harus menjelaskannya ya,
sebenarnya sih bukan. Tapi di bilang bukan, ibuku masih orang Tuban asli”
Katanya sambil menggaruk kepalanya.
Aku mulai tak sabar mendengar kelanjutan
ceritanya. Namun apalah yang terjadi. Kontingenku sudah mau pulang. Aku di
panggil-panggil sedari tadi. Tinggal sedikit lagi kutemukan jawaban dan
akhirnya harus terputus karena aku harus pulang. Kesal diriku.
“eh, kau teruskan di lain waktu kita
bertemu ya, aku sudah mau pulang, kau masih ikut lagi kan” tanyaku penasaran
sekaligus mengakhiri obrolan sedari tadi.
“mungkin” latar wajahnya terlihat tak
yakin, namun dia mulai sedikit tersenyum, dan mengulurkan tangannya. Aku menjabat
tangan itu. Aku kemudian pergi.
Sepanjang perjalanan pulang fikiranku
masih tertuju pada “ardi”. Aku tak tahu harus apa jika dia memang ardi tetangga
sebelahku dulu, teman masa kecilku dulu. Aku harus kembali, tidak boleh tidak,
pikirku.
Di bagian lain. Ardi sedang membayangkan
sahabat kecilnya di desa tempat dia di besarkan hingga umur 5 tahun. Namun dia
juga membayangkan pertemuan di arena pertandingan tadi siang. Hatinya berdesir
lirih. Mulutnya kemudian terbuka berkata “mirip namanya, namun apakah dia orang
yang sama ya?”. Dia beranjak membuka almari, dan mengeluarkan foto semasa kecilnya
yang sedari dulu dia sembunyikan dari ibunya. Di situ tergambar jelas kehidupan
semasa dia masih di TK. “Aku rindu kamu” bisiknya. Perlahan dia tertunduk.
Hanya air mata yang menetes menutup hari itu.
#Hanya karangan fiktif belaka dan tidak mengandung unsur true story.
Komentar
Posting Komentar